@Jpnmuslim1
Diterjemahkan dan ditranskrip oleh: Irfan Idris
Pernahkah kamu merasa begitu dipenuhi rasa syukur hingga rasanya terasa begitu menyesakkan? Seperti ketika kamu menyaksikan matahari terbenam yang sempurna, atau mencicipi buah yang begitu manis hingga terasa seperti keajaiban dan hatimu ingin berteriak, “Terima kasih!”, namun kamu tak tahu kepada siapa harus mengucapkannya.
Dalam sebagian besar hidupku, aku hidup dalam keadaan seperti itu: rasa syukur yang indah namun membingungkan. Satu-satunya cara yang paling dekat untuk mengekspresikannya kutemukan dalam tradisi Jepang yang sangat indah. Sebuah kata yang kami ucapkan sebelum setiap kali makan:
“Itadakimasu.”
Makna yang Dalam di Balik “Itadakimasu”

Secara harfiah, itadakimasu sering diterjemahkan sebagai “dengan rendah hati aku menerima”.
Namun maknanya jauh lebih dalam daripada sekadar menerima makanan. Itu adalah momen hening penuh syukur, sebuah jeda kecil untuk mengingat bahwa setiap butir nasi, setiap potong ikan, datang dari hasil kerja dan pengorbanan banyak pihak.
Nenekku mengajariku makna sejati kata itu sejak kecil. Ketika kamu mengucapkan itadakimasu, kamu sedang berterima kasih kepada semua yang terlibat dalam menghadirkan makanan itu ke piringmu: kepada juru masak yang menyiapkannya, kepada pedagang yang menjual bahan-bahannya,
kepada petani yang menanam sayur-sayurannya, dan kepada nelayan yang menangkap ikannya.
Bahkan kamu juga berterima kasih kepada tumbuhan, hewan, dan ikan itu sendiri, yang telah memberikan hidupnya agar kamu bisa tetap hidup.

Sungguh, filosofi yang indah dan merendahkan hati. Ia menghubungkanmu dengan rantai kehidupan yang panjang dan penuh usaha. Sebagai seseorang yang sensitif, aku sangat mencintainya.
Setiap kali makan, aku menutup mata, menundukkan kepala, dan benar-benar berusaha mengirimkan rasa terima kasihku ke alam semesta—berharap rasa syukur itu sampai ke tempat yang tepat.
Rasa Syukur yang Tak Lengkap
Namun seiring bertambahnya usia, muncul pertanyaan kecil yang terus mengusik hatiku.
Aku berterima kasih kepada petani tetapi siapa yang memberi petani benih dan tanahnya?
Aku bersyukur atas cahaya matahari dan hujan dari langit—tetapi siapa yang menciptakan matahari dan awan itu?

Rantai rasa syukurku panjang, penuh mata rantai, namun aku tidak bisa menemukan mata rantai pertama, sumber dari segalanya.
Rasa syukurku seperti sungai yang ingin mengalir kembali ke mata airnya, tapi aku tak tahu di mana sumbernya.
Selama bertahun-tahun aku hidup dengan rasa spiritual yang hampa, seperti doa yang indah namun tanpa nama di atasnya. Rasa syukurku terasa tak lengkap.
Pertemuan dengan Islam

Hingga akhirnya aku menemukan Islam. Islam tidak mengatakan bahwa tradisiku salah, ia justru menyempurnakannya.
Aku belajar bahwa dalam Islam, rasa syukur adalah salah satu bentuk ibadah tertinggi. Namun Islam memberikan sesuatu yang selama ini hilang dariku: arah yang jelas untuk mengarahkan rasa syukur itu.
Aku ingat momen yang mengubah segalanya. Saat membaca terjemahan Al-Qur’an, aku menemukan ayat dalam Surah Ibrahim ayat 32–33:
“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi,yang menurunkan air hujan dari langit, lalu dengan air itu Dia menghasilkan buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Dia menundukkan bagimu matahari dan bulan, serta menundukkan malam dan siang bagimu.”
Saat membacanya, aku merasa seolah Allah sedang berbicara langsung kepadaku atas pertanyaan dalam hatiku. Tiba-tiba segalanya menjadi jelas.
Petani, nelayan, matahari, hujan, semuanya hanyalah bagian dari proses. Mereka seperti tukang pos yang mengantarkan surat kehidupan yang indah dan menjaganya.
Selama ini, dengan itadakimasu, aku telah dengan tulus berterima kasih kepada tukang pos tetapi aku lupa berterima kasih kepada Penulis surat itu, kepada Pengirim yang sejati, Sumber dari segalanya.
Islam tidak menghapus rasa syukurku kepada makhluk dan ciptaan, ia hanya memberikan alamat yang benar untuk ucapan terima kasihku yang sejati.

Rasa Syukur yang Kini Sempurna
Sejak saat itu, makna makan bagiku berubah total. Kini sebelum makan, aku tidak lagi hanya mengucap itadakimasu, aku mengucap, “Bismillah”, dengan nama Allah.
Satu kalimat ini mencakup semua makna itadakimasu, bahkan lebih dari itu. Ia mengakui seluruh rantai ciptaan, namun memulainya dari sumber yang benar: Sang Pencipta.
Ketika aku selesai makan, aku mengucap, “Alhamdulillah” – Segala puji dan syukur hanya bagi Allah. Akhirnya, surat terima kasihku menemukan penerimanya, dan sungai rasa syukurku telah sampai ke sumbernya.
Tradisi indah dari budayaku telah mengajariku bagaimana caranya bersyukur, tetapi kebenaran ilahi Islam mengajariku kepada siapa seharusnya aku bersyukur.
Dan sejak itu, ruang kosong di hatiku telah terisi sepenuhnya.


